puisi anak bangsa

bukit siliwangi
dengan segenggam ubi kutatap jemari, seakan tercium aroma darah tatkala harimau tumbang tertusuk duri perak di kerongkongnya
hatiku cemas, di kala kau jamahi rimba memoar yang penyap, terkikis tanya dan kau teguh atas sayup sarau hidup yang mengusik sebuah kisah
lalu, tak kau sadari kau injak cena lusuh bertajuk fakir atas fatwa si cenayang jangak, terpeluk awan guntur berawas pelak
seringai rembulan bangkitkan roh terdahulu, atas nama gemerusuk angin gelebah, yang mengusik sukma di tengah gelegap tanah merah yang hiasi gempita di purnama itu
di desa, keluh kesah wanita tua menyambut batang hidungmu dengan sepetak tanah berhias kamboja. kepala warispun datang dengan kemaruknya.
tidakkah engkau tahu, pikirnya; secarik kertas lebih mulia di atas yang lebih mulia dan sehelai jasa tidaklah berharga dibandingkan dengan tahta sekantung emas
sang leluhur tertawa, menangis dalam doa-doa: nafasnya sunyi senyap dibayangi ringkikan kuda hitam, yang enggan pergi, menanti rumput segar saat sang fajar menghampirinya di tempat penghujung dasar hasrat yang tunai
adakah tunas ingat padaku, wahai sang raja muda?
         
tarian seusai senja
 gudang tua itu berbisik;
topeng telah menjadi benar-benar topeng
lapuk dingin berlumut, hijau berjamur
topeng kini tiada wajah dipakai
tergeletak mengadah langit menguntil secercah cahaya di atap berkarat
topeng kini coklat pekat
debu tebal, pahit melilit raut bersama jaring melambai-lambai
angin berlalu, kisah lampau menyeruak
hinggap disemak-semak
rintihan penari tua mulai sekarat;
menatap tabu kepulan asap, tarian seusai senja.
matanya putih, lengannya putih, nadinya putih, bajunya putih
dan kapas yang menyumbat liang
di sekujur tubuhnya berbisik:
hidup-hidup-hidup

tentang pelangi
terlihat jamak tatapan sayu kala itu
tertutup kaca, kedua bola mata berayun dalam lirikan malaikat
hatinya nampak putih diiringi tetabuhan surga
yang mengalun indah  dirindangnya pepohonan senja
sering kulihat kau berdiam diri di rumah Tuhan,
bersembunyi dalam gelagap terik matahari
datang dan menghilang tanpa jejak
aku tak sungkan termenung dalam pelangi di tengah hujan
bersenandung bersama sajak-sajak matahari yang tertiup embun di kaki bukit perahu
walau derita yang kudapat, namun tak seberapa hebat, kugenggam sebuah anugerah
berharap mengukir kisah dalam sebuah ikatan persahabatan
dalam temaramnya sinar kehidupan
aku menanti datangnya cerita esok hari
Fahrul Satria Nugraha. Lahir di Bandung, 21 November 1992. Pelajar SMA Negeri 1 Lembang. Penikmat seni dan aktif mengikuti berbagai perlombaan di bidang seni sastra dan rupa. Pernah menjuarai lomba poster tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) bertemakan “Pertanian”. Saat ini tengah berjuang untuk lulus ujian nasional dan masuk ke perguruan tinggi negeri jurusan seni rupa atau sastra Indonesia.
Alamat: Jalan Mutiara II no. 135 Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat, 40391
Email: fahrul.satria@gmail.com
Facebook: Fahrul Satria N

musik hatiku © 2008 Por *Templates para Você*